LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, bisexual, dan transgender. Dengan kata lain, LGBT adalah suatu "penyimpangan orientasi seksual dimana seseorang tidak lagi, atau tidak mau, berorientasi "straight" lagi.
Ada suatu saat dimana LGBT ini lebih memilih diam dan menerima keadaan mereka. Kalau ditarik dari masa lalu, kondisi ini di Islam bisa dilihat dari kisah Nabi Luth dimana suatu kota diadzab oleh Yang Maha Kuasa. Tapi keberadaannya terus ada, dan berawal dari dunia barat yang budayanya lebih terbuka dan fleksiblel, sekarang mulai mewabah ke daerah timur termasuk Indonesia yang notabene agak "asing" dengan kebebasan ini.
Tapi setelah para penganut dan pendukung LGBT ini mulai bersuara, hal yang dianggap tabu dan asing ternyata tidak sama sekali asing. Ternyata di Indonesia ini sudah banyak pro LGBT dan bahkan mengakui diri mereka adalah bagiannya.
Di satu sisi, LGBT dipandang sebagai hak asasi manusia. Mereka bebas berekspresi dan mempertahankan haknya. Tapi di sisi lain, LGBT dipandang sebagai sesuatu yang amoral yang bisa diibaratkan kanker yang kalau tidak dihilangkan (dilarang), bisa mewabah sehingga merusak generasi sekarang dan yang akan datang.
Mengupas LGBT Lebih Dalam
Sebagian merasa ini adalah penyakit, sebagian lain menganggap menjadi bagian LGBT adalah kodrat/nasib, sebagian lagi menilai bahwa ini adalah efek samping dari gaya hidup. Tapi mau gimana pun juga, kenyataan ini menular.
Bagi yang merasa ini adalah kodrat, penyimpangan ini bisa juga berasal dari faktor keturunan.
Gaya atau perilaku menyimpang ini menyerang nafsu. Tapi disini nafsu harus ditekankan kalau seks bukan faktor satu2nya. Gaya hidup dan kebutuhan pun bisa jadi penyebab. Ada sebuah survey yang mengungkapkan bahwa 1/3 dari komunitas LGBT adalah orang yang ketularan, dan mereka yang nyaman dengan perilaku menyimpang ini.
Intinya, mau itu kodrat atau penyakut atau gaya hidup, orientasi mereka sama. Bagi yang sadar akan penyimpangan mereka, banyak yang sebenarnya pengen sembuh namun banyak dari mereka yang malu mengungkapkannya.
Bersuara
Mereka yang berperilaku menyimpang ini sebenarnya merasa kalau mereka itu menyimpang. Karena tidak masuk ke lingkungan dimana mereka berada, seperti yang sebelumnya dijelasin, mereka cenderung diam dan tidak mengganggu. Mereka punya kumpulan sendiri, mereka punya komunitas, forum dan tempat sendiri. Intinya, mereka hanya bisa berbagi dan "menerima nasib" dengan berada diantara sesamanya, atau dengan orang terdekat mereka.
Tapi dengan adanya suara2 yang mendukung LGBT ini, mereka yang awalnya diam dan "menikmati" penyimpangan mereka, ikut bersuara. Mereka ingin dianggap setara, mereka tidak ingin dianggap "penyakit" dan ingin hidup seperti halnya manusia biasa yang tidak dipandang sebelah mata oleh mereka yang straight. Mereka ingin didukung undang2, mereka ingin bebas.
Di rangkum dari beberapa sumber, berikut adalah mereka yang "bersuara":
DR Dede Oetomo PhD. Dia merupakan aktivis LGBT senior yang berumur diatas 60 tahun. Sebagai aktivis gay, dia berpendidikan dengan lulusan Amerika.
Dari interview dengan DR Dede, dia adalah aktivis sejak 1970an dimana LGBT hampir gak ada di Indonesia (gak kelihatan). Karena lamanya dia berkecimpung di dunia LGBT, DR Dede cukup fasih dalam membela hak2 kaum minoritas ini.
Menurut dia, jumlah populasi gay Indonesia sebanyak 760 ribu orang. Sementara waria atau transgender sebanyak 28 ribu orang.
Walaupun minoritas dan masih dipandang sebelah mata, dia yakin kalau suatu saat Indonesia akan mengakui keberataan LGBT ini walaupun peluangnya kecil.
Dia membawa UUD 1954 dimana ada ayat yang menyebutkan tentang perlindungan dari diskriminasi.
Tokoh lainnya adalah seorang pakar komunikasi Universitas Indonesia dan Paramadina, Ade Armando. Dia mempertanyakan status haram dalam Islam terkait masalah LGBT. Menurut dia, LGBT adalah hal yang tidak terhindarkan di dunia yang mengalami globalisasi. Karena itu dia merasa penting bagi umat Islam untuk membicarakan kembali cara pandang terhadap LGBT, termasuk bilamana perlu meninjau kembali sikap yang sudah tertanam selama ini.
Berikutnya adalah Shinta Ratri yang merupakan anggota komunitas LGBT bernama Arus Pelangi. Dia mengakui bahwa masih banyak penolakan yang diterima kaum LGBT, tapi Shinta yang merupakan transgender, tetap memperjuangkan dirinya dan kaumnya untuk mendapatkan kesetaraan.
Menurut dia, karena masih banyak yang menolak, mereka harus berjuang dan menperjuangkan identitas dan hak.
Walaupun merupakan seorang transgender. Shinta tetap menjunjung tinggi nilai2 agama dengan mendirikan pondok pesantren waria Al-Fatah di Bantul, Jogjakarta.
Masyarakat dan Pemerintah Harus Bijak
Mungkin berawal dari Kejagung AS yang melegalkan pernikahan sesama jenis di negara Paman Sam, tempat yang sering menjadi kiblat budaya barat. Di internet, seperti yang kita semua ketahui, muka putih bisa menjadi hitam, dan si hitam bisa saja putih. Di internet adalah tempat suara berkumpul yang berisi hinaan sampai dukungan terhadap LGBT ini.
Yang menghina, suka membawa dalil agama. Yang mendukung pun suka bawa agama juga.
Efek LGBT yang di Indonesia harus dicari solusinya dengan bijak. Harus ada jalan tengah yang tidak memenangkan suatu kaum, dan juga tidak merugikan kaum yang lain.
Soalnya selama ini, sadar apa tidak, kita semua hanya bisa menyalahkan LGBT. Dan yang mendukung hanya bisa mengedepankan hal mereka. Tapi semua hanya ada tanpa solusi. Ini sama seperti mengajarkan manusia kenapa tidak boleh membunuh karena bisa masuk neraka, tapi tidak jarang sekali membahas kenapa manusia itu bisa tega membunuh.
Dia bisa saja membunuh karena saudaranya dibunuh. Atau bisa juga karena dia dipaksa dan diancam, atau juga karena masalah dendam atau karena tertindas. Bisa juga karena dia awalnya hanya bela diri.
Di Indonesia tercinta ini, berita tentang politik dan korupsi sepertinya tiada habisnya. Kita suka melihat muka2 para pejabat yang terhormat yang menjadi tersangka korupsi sekian juta atau sekiar milyar, dan kita yang berada di depan layar TV hanya bisa menghina dan memberi sumpah serapah. Tapi apakah kita tahu sebab mereka korupsi? Koruptor mungkin tergoda oleh rekan kerja dan kebutuhan hidup anak yang suka bergaul dengan para pengusaha muda dan artis borjuis. Si istri bisa saja merasa saltum karena datang ke arisan sosialita pakai tas "murahan". Si bapak yang didesak oleh istri dan anak pun terdorong untuk mencari "sedikit" penghasilan tambahan.
Terus apakah kita sadar bahwa kita pun melakukan korupsi2 kecil tanpa disadari? Apakah kita gak pernah menyogok polisi supaya urusan kita cepat damai? Apa kita tidak pernah memberi tips lebih untuk seseorang supaya kita didahulukan dibanding yang lain? Apa kita gak sadar akan hal itu?
Sekarang kalau membandingkan pembunuh, para koruptor dan para LGBT, seolah2 ini semua sama. Kita suka melihat mereka hina atau salah, tapi apakah kita melihat kenapa mereka menjadi demikian?
Dari kecil kita suka ikut2an mengolok2 laki2 yang feminin dengan sebutan bencong atau banci. Walaupun mereka yang pada saat itu kenyataannya bukan termasuk LGBT, mereka menjadi minder, dan mungkin jadi susah mencari teman. Manusia adalah makhluk sosial, tapi kita suka mengintimidasi orang lain tanpa tahu alasannya apa.
Bisa jadi orang ini yang kecilnya tertindas karena olokan teman2nya kemudian mendapatkan teman yang sama femininnya. Dan disaat dia merasa nyaman dan diterima oleh temannya, bisa dia menjadi terjerumus ke lembah hitam LGBT.
Manusia adalah makhluk sosial dan kita semua pasti mengakui itu. Kita tidak bisa hidup dalam kesendirian.
Sebagai negara dengan berbagai agama, pemerintah harus mengambil sikap bijak. Secara umum, umat beragama diajarkan cinta antar sesama, dan seharusnya kita disini memberi solusi terbaik bagi saudara/teman atau kerabat LGBT. kita harus bisa memberi dukungan untuk mereka agar mereka sadar akan perbedaan mereka dan mau kembali ke jalan yang publik anggap lebih benar. Bukan hanya buat kebaikan dia saja, tapi buat kebagian negara kita, kebaikan Indonesia yang luas, agar tidak terjun ke lembah sesat kaum Nabi Luth.
Saya harap thread ini tidak menyinggung karena ini adalah pernyataan yang tidak memihak.
Junaidi
sekedar pewarna